Enuresis (mengompol) merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada anak dan sering diabaikan oleh orang tua, padahal mengompol dapat menimbulkan rasa malu dan kurang percaya diri pada anak. Menurut Kher (1992) dalam Windiani dan Soetjiningsih (2008), enuresis adalah keluarnya air kemih yang tidak disadari yang terjadi saat proses berkemih diharapkan sudah tercapai.
Berdasarkan waktu terjadinya, Enuresis dibagi menjadi dua yaitu enuresis diurnal (enuresis yang terjadi di siang hari) dan nokturnal (enuresis yang terjadi di malam hari). Sedangkan menurut
awal terjadinya, dibagi menjadi enuresis primer (terjadi sejak lahir dan tanpa ada
periode normal) dan enuresis sekunder (6 bulan setelah kontrol kandung
kencing normal) (Behrman, dkk, 2007 dalam Windiani dan Soetjiningsih, 2008). Masalah
enuresis pada anak masih tergolong tinggi. Hasil
penelitian Windiani dan Soetjiningsih (2008) menyatakan bahwa dilakukan
penelitian observasional potong lintang di 7 TK di wilayah Kotamadya Denpasar
didapatkan 331 subjek yang dapat di analisis dengan prevalensi 36 (10,9%)
terdiri dari 21 perempuan (58,3%) dan 15 laki-laki (41,7%) dengan rentang umur
4,7-5,7 tahun.
Faktor penyebab enuresis primer menurut Caldwell (2005) dalam Windiani dan
Soetjiningsih (2008) adalah keterlambatan maturasi sistem saraf pusat sehingga
terjadi keterlambatan perkembangan, genetik, tidur terlalu dalam, gangguan
psikologi dan perilaku, konstipasi, rendahnya kadar hormon antidiuretik sehingga
produksi urine berlebihan, poliuria nokturnal, disfungsi kandung kencing.
Sedangkan faktor penyebab enuresis sekunder antara lain neurogenic bladder dan berhubungan dengan abnormalitas tulang belakang,
infeksi traktus urinarius, adanya katup uretra posterior pada laki-laki, ureter
ektopik pada perempuan, konstipasi, diabetes mellitus dan stres emosional.
Enuresis
pada anak dapat disebabkan oleh adanya stres. Ariesta (2010) dalam Fatmawati
dan Mariyam (2013) menyatakan bahwa kebiasaan mengompol disebabkan oleh
gangguan psikologis seperti stres, tertekan, merasa diperlakukan kurang adil,
kurang perhatian, gangguan organis (sumbatan), gangguan tidur, kekurangan ADH,
dan gangguan kromosom 12 dan 13 yang merupakan pengatur kencing. Adapun
penyebab stres menurut Suwardi (2000) dalam Fatmawati dan Mariyam (2013) bisa
berasal dari kematian keluarganya, pindah sekolah atau hubungannya dengan anak
lain. Hal ini dibuktikan oleh penelitian dengan penelitian yang dilakukan oleh
Fatmawati dan Mariyam (2013) yang menyatakan bahwa anak usia prasekolah di RA
Al Iman Desa Banaran Gunung Pati Semarang dengan sampel sebanyak 47 anak mengalami
stres ringan sebanyak 29 anak (61,7%) dan stres berat sebanyak 18 anak (38,3%).
Kebiasaan
mengompol pada anak menurut Kiddoo (2012) dapat diatasi dengan memodifikasi gaya hidup (penggunaan alarm pada
tempat tidur), obat-obatan (desmopresin) dan terapi alternatif. Penggunaan alarm pada tempat
tidur merupakan salah satu pengobatan yang telah terbukti untuk mengobati enuresis dengan efek yang lebih lama. Jika
anak tidak bangun dengan suara atau getaran alarm, orang tua harus membangunkan
anak tersebut (Kiddoo, 2012). Selain itu, penggunaan desmopresin (vasopresin
sintetis) juga efektif untuk mengatasi enuresis.
Desmopresin bekerja pada ginjal duktus pengumpul dan tubulus distal untuk
meningkatkan penyerapan air. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet dan cair.
Efek samping dari desmopressin yaitu timbulnya ketidaknyamanan pada hidung namun
tidak akan berlangsung lama (Kiddoo, 2012).
Menurut
Rudolph (2006) dalam Setiadi dan Setiawan (2014), upaya yang dapat dilakukan
untuk menangani masalah enuresis pada anak adalah hipnoterapi (SEFT). Penelitian yang dilakukan oleh
Setiadi dan Setiawan (2014) menyatakan bahwa setelah dilakukan SEFT Therapy, hasil pengukuran
menunjukkan perbedaan hasil yang signifikan yaitu mengalami penurunan dari 9
anak menjadi 2 anak dengan frekuensi 5x/minggu, dari 13 anak menjadi 6 anak
dengan frekuensi 4x/minggu. SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) adalah
suatu bentuk dimensi theological and
social acceptance and releasing yang merupakan gabungan antara kepasrahan
pada Tuhan, kedekatan sosial, pelepasan beban (terapi yang menggabungkan antara
spiritual, energi psikologi dan akupuntur). Proses ini diakibatkan oleh sekresi
biokimiawi atau neurotransmitter akibat tusukan akupuntur melalui stimulasi
sistem jaringan saraf sensorik yang melibatkan saraf sentral melalui medula
spinalis batang otak menuju hipotalamus dan hipofisis, kemudian akan
disampaikan di otak berefek terhadap sekresi neurotransmitter seperti
ß-endorfin, norepinefrin, dan 5-HT. Dengan melakukan terapi ini setiap hari, berarti
kita telah melakukan emotional
detoxification (pembersihan sampah emosi) pada anak secara teratur (Zainudin,
2012 dalam Setiadi dan Setiawan, 2014).
Anak
dengan enuresis biasanya memiliki
harga diri yang rendah dan merasa malu. REBT (Rational Emotive Behavior Therapy) merupakan salah satu terapi
kognitif dan perilaku yang dikembangkan oleh Albert Ellis yang bisa mengatasi
masalah enuresis (Hirmaningsih dan
Minauli, 2015). Buku First Steps in REBT karya Dryden (2006) dalam Hirmaningsih
dan Minauli (2015), beberapa langkah terapi REBT terkandung proses ABCDE,
yaitu:
A
(Activating event) : Memilih dan menilai masalah.
B
(Beliefs ) : Menetapkan masalah dan menentukan tujuan.
C (Consequences) : Memahami
proses pikiran-pikiran, mengajarkan hubungan antara A, B dan C serta menilai
keyakinan irasional.
D (Disputing ) : Memeriksa keyakinan irasional dan
keyakinan rasional proses D-E.
E (Effective) : Membantu klien mempertahankan keyakinannya
yang rasional dan menghilangkan keyakinan irasional.
Daftar Pustaka
Fatmawati,
Lusi & Mariyam. (2013). Hubungan stres dengan enuresis pada anak
usia prasekolah di RA Al Iman desa Banaran Gunung Pati Semarang. Jurnal
Keperawatan Anak, 1(1), 24-29.
Hirmaningsih
& Minauli, Irma. (2015). Efektifitas rational emotive behavior therapy
untuk meningkatkan harga diri pada anak enuresis. Jurnal psikologi,
11(2), 64-70.
Kiddoo
MD., Darcie, A. (2012). Nocturnal enuresis. CMAJ, 184 (8), 908-911.
Setiadi
& Setiawan, Erik, P. (2014). Efektifitas SEFT therapy terhadap
penurunan enuresis pada anak prasekolah usia (3-5 tahun) di KB Al Islah
Gunung Anyar Tengah Surabaya. Jurnal Kesehatan, 6(1), 94-101.
Windiani,
I.G.A.T, & Soetjiningsih. (2008). Prevalensi dan faktor risiko enuresis
pada anak taman kanak-kanak di Kotamadya Denpasar. Sari Pediatri, 10(3),
151-157.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar