Rabu, 26 Oktober 2016

ENURESIS PADA ANAK PRESCHOOL

                                               Sumber: http://coolmom.info/id/pages/606073           
              Enuresis (mengompol) merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada anak dan sering diabaikan oleh orang tua, padahal mengompol dapat menimbulkan rasa malu dan kurang percaya diri pada anak. Menurut Kher (1992) dalam Windiani dan Soetjiningsih (2008), enuresis  adalah keluarnya air kemih yang tidak disadari yang terjadi saat proses berkemih diharapkan sudah tercapai.
Berdasarkan waktu terjadinya, Enuresis  dibagi menjadi dua yaitu enuresis  diurnal (enuresis  yang terjadi di siang hari) dan nokturnal (enuresis  yang terjadi di malam hari). Sedangkan menurut awal terjadinya, dibagi menjadi enuresis  primer (terjadi sejak lahir dan tanpa ada periode normal) dan enuresis  sekunder (6 bulan setelah kontrol kandung kencing normal) (Behrman, dkk, 2007 dalam Windiani dan Soetjiningsih, 2008). Masalah enuresis  pada anak masih tergolong tinggi. Hasil penelitian Windiani dan Soetjiningsih (2008) menyatakan bahwa dilakukan penelitian observasional potong lintang di 7 TK di wilayah Kotamadya Denpasar didapatkan 331 subjek yang dapat di analisis dengan prevalensi 36 (10,9%) terdiri dari 21 perempuan (58,3%) dan 15 laki-laki (41,7%) dengan rentang umur 4,7-5,7 tahun.
Faktor penyebab enuresis primer menurut Caldwell (2005) dalam Windiani dan Soetjiningsih (2008) adalah keterlambatan maturasi sistem saraf pusat sehingga terjadi keterlambatan perkembangan, genetik, tidur terlalu dalam, gangguan psikologi dan perilaku, konstipasi, rendahnya kadar hormon antidiuretik sehingga produksi urine berlebihan, poliuria nokturnal, disfungsi kandung kencing. Sedangkan faktor penyebab enuresis  sekunder antara lain neurogenic bladder dan berhubungan dengan abnormalitas tulang belakang, infeksi traktus urinarius, adanya katup uretra posterior pada laki-laki, ureter ektopik pada perempuan, konstipasi, diabetes mellitus dan stres emosional.
Enuresis pada anak dapat disebabkan oleh adanya stres. Ariesta (2010) dalam Fatmawati dan Mariyam (2013) menyatakan bahwa kebiasaan mengompol disebabkan oleh gangguan psikologis seperti stres, tertekan, merasa diperlakukan kurang adil, kurang perhatian, gangguan organis (sumbatan), gangguan tidur, kekurangan ADH, dan gangguan kromosom 12 dan 13 yang merupakan pengatur kencing. Adapun penyebab stres menurut Suwardi (2000) dalam Fatmawati dan Mariyam (2013) bisa berasal dari kematian keluarganya, pindah sekolah atau hubungannya dengan anak lain. Hal ini dibuktikan oleh penelitian dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatmawati dan Mariyam (2013) yang menyatakan bahwa anak usia prasekolah di RA Al Iman Desa Banaran Gunung Pati Semarang dengan sampel sebanyak 47 anak mengalami stres ringan sebanyak 29 anak (61,7%) dan stres berat sebanyak 18 anak (38,3%).
Kebiasaan mengompol pada anak menurut Kiddoo (2012) dapat diatasi dengan  memodifikasi gaya hidup (penggunaan alarm pada tempat tidur), obat-obatan (desmopresin) dan terapi  alternatif. Penggunaan alarm pada tempat tidur merupakan salah satu pengobatan yang telah terbukti untuk mengobati enuresis dengan efek yang lebih lama. Jika anak tidak bangun dengan suara atau getaran alarm, orang tua harus membangunkan anak tersebut (Kiddoo, 2012). Selain itu, penggunaan desmopresin (vasopresin sintetis) juga efektif untuk mengatasi enuresis. Desmopresin bekerja pada ginjal duktus pengumpul dan tubulus distal untuk meningkatkan penyerapan air. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet dan cair. Efek samping dari desmopressin yaitu timbulnya ketidaknyamanan pada hidung namun tidak akan berlangsung lama (Kiddoo, 2012).
Menurut Rudolph (2006) dalam Setiadi dan Setiawan (2014), upaya yang dapat dilakukan untuk menangani masalah enuresis  pada anak adalah hipnoterapi (SEFT). Penelitian yang dilakukan oleh Setiadi dan Setiawan (2014) menyatakan bahwa setelah dilakukan SEFT Therapy, hasil pengukuran menunjukkan perbedaan hasil yang signifikan yaitu mengalami penurunan dari 9 anak menjadi 2 anak dengan frekuensi 5x/minggu, dari 13 anak menjadi 6 anak dengan frekuensi 4x/minggu. SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) adalah suatu bentuk dimensi theological and social acceptance and releasing yang merupakan gabungan antara kepasrahan pada Tuhan, kedekatan sosial, pelepasan beban (terapi yang menggabungkan antara spiritual, energi psikologi dan akupuntur). Proses ini diakibatkan oleh sekresi biokimiawi atau neurotransmitter akibat tusukan akupuntur melalui stimulasi sistem jaringan saraf sensorik yang melibatkan saraf sentral melalui medula spinalis batang otak menuju hipotalamus dan hipofisis, kemudian akan disampaikan di otak berefek terhadap sekresi neurotransmitter seperti ß-endorfin, norepinefrin, dan 5-HT. Dengan melakukan terapi ini setiap hari, berarti kita telah melakukan emotional detoxification (pembersihan sampah emosi) pada anak secara teratur (Zainudin, 2012 dalam Setiadi dan Setiawan, 2014).
Anak dengan enuresis biasanya memiliki harga diri yang rendah dan merasa malu. REBT (Rational Emotive Behavior Therapy) merupakan salah satu terapi kognitif dan perilaku yang dikembangkan oleh Albert Ellis yang bisa mengatasi masalah enuresis (Hirmaningsih dan Minauli, 2015). Buku First Steps in REBT karya Dryden (2006) dalam Hirmaningsih dan Minauli (2015), beberapa langkah terapi REBT terkandung proses ABCDE, yaitu:
A (Activating event)          : Memilih dan menilai masalah.
B (Beliefs )                        : Menetapkan masalah dan menentukan tujuan.
C (Consequences)            : Memahami proses pikiran-pikiran, mengajarkan hubungan antara A, B dan C serta menilai keyakinan irasional.
D (Disputing )                  : Memeriksa keyakinan irasional dan keyakinan rasional proses D-E.
E (Effective)                       : Membantu klien mempertahankan keyakinannya yang rasional dan menghilangkan keyakinan irasional.

Daftar Pustaka
Fatmawati, Lusi & Mariyam. (2013). Hubungan stres dengan enuresis pada anak usia prasekolah di RA Al Iman desa Banaran Gunung Pati Semarang. Jurnal Keperawatan Anak, 1(1), 24-29.
Hirmaningsih & Minauli, Irma. (2015). Efektifitas rational emotive behavior therapy untuk meningkatkan harga diri pada anak enuresis. Jurnal psikologi, 11(2), 64-70.
Kiddoo MD., Darcie, A. (2012). Nocturnal enuresis. CMAJ, 184 (8), 908-911.
Setiadi & Setiawan, Erik, P. (2014). Efektifitas SEFT therapy terhadap penurunan enuresis pada anak prasekolah usia (3-5 tahun) di KB Al Islah Gunung Anyar Tengah Surabaya. Jurnal Kesehatan, 6(1), 94-101.
Windiani, I.G.A.T, & Soetjiningsih. (2008). Prevalensi dan faktor risiko enuresis  pada anak taman kanak-kanak di Kotamadya Denpasar. Sari Pediatri, 10(3), 151-157.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar