Kamis, 24 November 2016


Kasus:
An. A (7 tahun) baru saja didiagnosis leukimia dan harus menjalani perawatan di ruang khusus. Selama perawatan klien ditempatkan dalam ruang khusus dengan pembatasan kunjungan untuk menghindari kemungkinan kontaminasi (infeksi). Sehari setelah dirawat di ruang tersebut, An. A mudah menangis dan sering merengek meminta pulang. Di RS tersebut juga terdapat beberapa pasien anak lain yang juga dirawat dengan diagnosis yang sama.
A.    Jenis gangguan persepsi, sensori, kognitif yang dialami oleh pasien atau klien pada kasus di atas
Pada kasus tersebut pasien mengalami gangguan rasa nyaman. Dalam konteks ini pasien dapat digolongkan terkena gangguan deprivasi sensori karena memiliki karakteristik yang termasuk dalam deprivasi sensori.
Deprivasi sensori secara umum dianggap sebagai penurunan atau kurangnya stimulus yang bermakna. Ketika individu mengalami deprivasi sensori,  keseimbangan pada sistem pembangkit retikular terganggu. Sistem ini tidak mampu mempertahankan stimulasi normal ke korteks serebri. Akibat penurunan stimulus ini individu menjadi lebih waspada secara akut terhadap stimulus sisa dan sering kali menilai stimulus tersebut dalam cara yang menyimpang. Oleh karena itu,  individu sering kali mengalami gangguan persepsi, kognisi, dan emosi. (Kozier, 2010)
Tanda-tanda  klinis deprivasi sensori (Kozier, 2010):
1.      Sering menguap, mengantuk dan tidur
2.      Penurunan rentang perhatian, sulit konsentrasi, penurunan kemampuan memecahkan masalah
3.      Gangguan memori
4.      Disorientasi periodik,  konfusi umum, konfusi nokturnal
5.      Sering mendapat keluhan somatik, seperti palpitasi (perabaan)
6.      Halusinasi
7.      Menangis, terganggu dengan masalah kecil, depresi
8.      Apatis, emosi labil
B.     Analisa
An. A mengalami gangguan rasa nyaman setelah didiagnosa menderita leukimia dan harus dirawat di ruang isolasi di mana kunjungan untuk pasien juga dibatasi. Gangguan rasa nyaman ini ditunjukkan oleh pasien dengan pasien yang terus manangis dan merengek. Dengan adanya gangguan rasa nyaman,  pasien tidak ingin berinteraksi dengan pasien lain di lingkungan barunya (ruang isolasi).
C.    Definisi
Gangguan rasa nyaman yaitu merasa kurang nyaman, lega dan sempurna dalam dimensi fisik, psikospiritual, lingkungan,  budaya,  dan/atau sosial. (NANDA, 2015)
D.    Batasan Karakteristik (NANDA, 2015)
1.      Menangis
2.      Merasa tidak nyaman
3.      Takut
E.     Intervensi yang dapat dilakukan (Bulechek, 2013)
1.      Memperlihatkan empati, kehangatan dan ketulusan.
2.      Dengan tenang, malakukan pendekatan yang meyakinkan untuk membangun hubungan saling percaya.
3.      Tinggal dengan pasien untuk meningkatkan rasa aman dan mengurangi rasa takut pasien.
4.      Berbicara dengan halus atau menyanyi unruk pasien anak-anak.
5.      Memfasilitasi perasaan pasien dengan cara yang konstruktif.
6.      Mendorong keluarga untuk tinggal bersama paien walau tidak selalu pada satu ruangan. Membuat pasien merasa bahwa dia tetap bersama keluarganya.
F.     Outcome (Moorhead, Sue, 2013)
1.      Pasien dapat menerima keadaan di mana dia harus di rawat di rumah sakit.
2.      Pasien tetap bisa behubungan dengan orang tua.
3.      Pasien mendukung semua prosedur pengobatan.
4.      Berpartisipasi dalam interaksi sosial.
5.      Berinteraksi dengan teman sebaya

Minggu, 13 November 2016


                                                                 Post Traumatic Stress Disorde atau PTSD
PTSD merupakan suatu respon stres post traumatik yang berkepanjangan. Sebagai tambahan ada kemungkinan gangguan yang lebih besar pada kepribadian dan sosial dibandingkan dengan reaksi stres yang biasa terjadi dari pengalaman orang-orang yang selamat dari bencana (Zailani, dkk, 2009). PTSD  dapat disembuhkan apabila segera terdeteksi dan mendapatkan penanganan yang tepat. Apabila tidak terdeteksi dan dibiarkan tanpa penanganan, maka dapat mengakibatkan komplikasi medis maupun psikologis yang serius yang bersifat permanen yang akhirnya akan mengganggu kehidupan sosial maupun pekerjaan penderita (Flannery, 1999 dalam PemSosBud, 2014).
          Diagnosis  PTSD  biasanya  terbatas  pada  mereka  yang  pernah  mengalami pengalaman  traumatik.  Kriteria diagnosis  PTSD  lainnya  meliputi: 
1.      Kenangan yang   mengganggu   atau   ingatan   tentang   kejadian   pengalaman traumatik yang berulang-ulang.  
2.      Adanya  perilaku  menghindar. 
3.      Timbulnya gejala-gejala berlebihan  terhadap  sesuatu  yang  mirip  saat  kejadian  traumatik, dan 
4.      Tetap adanya   gejala   tersebut   minimal   satu   bulan.   Pada   umumnya   penderita   PTSD menderita  insomnia  dan  mudah  tersinggung  serta  mudah  terkejut.  Penderita  PTSD sering   menunjukkan   reaksi   yang   berlebihan   yang   merupakan   akibat   adanya perubahan neurobiologis pada sistem syarafnya (Grinage, 2003 dalam PemSosBud, 2014).
Penderita   PTSD   juga   mengalami   gangguan   konsentrasi atau   gangguan mengingat sehingga  sering mengakibatkan  buruknya  hubungan  antar  manusia, prestasi pekerjaan. Penderita   PTSD   sering  berusaha untuk   mengatasi   konflik batinnya   dengan   menyendiri   atau   bisa   juga   menjadi   pemarah.   Hal ini  akan mengganggu  hubungannya  dengan  sesama.  Secara  umum  PTSD  ditandai  beberapa gangguan:
1.      Gangguan fisik/perilaku ditandai:
a.       Sulit tidur, terbangun  pagi  sekali
2.      Gangguan kemampuan  berpikir
a.       Sulit  atau  lambat  dalam  mengambil keputusan  untuk  masalah sehari-hari
b.      Sulit  berkonsentrasi
c.       Sulit  membuat rencana  tentang  hal-hal  yang  sederhana 
d.      Banyak memikirkan  masalah-masalah kecil
e.       Mudah  curiga  dan  perasaan  selalu  takut  disakiti 
f.       Adanya  ide  bunuh  diri
g.      Teringat  kembali  pada  kajadian  traumatis  hanya dengan  melihat, mencium atau mendengar sesuatu (Grinage, 2003 dalam PemSosBud, 2014).
3.      Gangguan  emosi  yang ditandai dengan: 
a.       Sedih  dan  putus  asa 
b.      Mudah tersinggung  dan  cemas
c.       Kemarahan  dan  rasa  bersalah 
d.      Perasaan  orang  lain tidak  akan  dapat  mengerti  penderitaannya 
e.       Perasaan  takut  mengalami  kembali kejadian  traumatis  tersebut 
f.       perasaan  kehilangan dan  kebingungan
g.      perasaan ditinggalkan 
h.      emosi  yang  naik  turun 
i.        mudah  mengalami  kecelakaan  dan penyakit
j.        meningkatnya  masalah  perkawinan  dan  pergaulan  dan 
k.      perasaan seakan-akan bencana tersebut tidak terjadi
Kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatrauma (PTSD), berdasarkan Diagnotic and Statistical Manual of Mental Disorders III-Revised (DSM III-R), dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang adalah sebagai berikut (Nawangsih, 2014) :
1.      Orang yang mengalami peristiwa luar biasa, dan dirasa amat menekan semua orang. Peristiwa traumatik itu secara menetap dapat dialami melalui cara teringat kembali peristiwa secara berulang dan sangat mengganggu, mimpi yang berulang tentang peris- tiwa yang membebani pikiran, perasa- an atau tindakan mendadak seolah- olah peristiwa traumatik itu terjadi lagi, tekanan jiwa yang amant sangat karena terpaku pada peristiwa yang melambangkan atau menyerupai traumatiknya.
2.      Pengelakan yang menetap terhadap rangsang yang terkait dengan trauma atau kelumpuhan yang bereaksi terhadap situasi umum (yang tidak ada sebelum trauma). Keadaan ini paling tidak dapat ditunjukkan dengan sedikitnya 3 (tiga) dari keadaan yang berupa: upaya untuk mengelak terhadap gagasan atau perasaan yang terkait dengan  trauma itu, upaya untuk mengelak dari kegiatan atau situasi yang menimbulkan ingatan terhadap trauma itu, ketidakmampuan untuk mengingat kembali aspek yang penting dari trauma, minat yang sangat berkurang terhadap kegiatan yang penting, rasa terasing dari orang lain, kurangnya afeksi, dan merasa tidak mempunyai masa depan.
3.      Gejala meningginya kesiagaan  yang menetap (tidak ada sebelum adanya trauma) dengan ditunjukkan oleh 2 (dua) dari gejala : sulit masuk fase tidur atau mempertahankan tidur yang cukup, iritable atau mudah marah, sulit berkonsetrasi, amat siaga, reaksi kejut (kaget) yang berlebihan, reaksi rentan faali saat menghadapi peristiwa yang melambangkan atau menyerupai aspek dari peristiwa traumatik
4.      Jangka waktu gangguan itu (gejala pada kriteria ke-2, ke-3 dan ke-4) sedikitnya 1 bulan.
Dampak PTSD pada kehidupan sosial menurut Nawangsih (2014):
1.      PTSD memiliki gejala yang menyebabkan gangguan, umumnya gangguan tersebut adalah panic attack (serangan panik), perilaku menghindar, depresi, merasa disisihkan dan sendiri, merasa tidak percaya dan dikhianati, mudah marah, mengalami gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari (Nawangsih, 2014).
2.      Panic attack (serangan panik), khususnya pada anak atau remaja yang mempunyai pengalaman traumatik dapat mengalami serangan panik ketika dihadapkan atau menghadapi pada sesuatu yang mengingatkan mereka pada trauma. Serangan panik meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau tidak nyaman yang menyertai gejala fisik dan psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar-debar, berkeri- ngat, gemetar, sesak nafas, sakit dada, sakit perut, merasa kedinginan, badan panas, mati rasa (Nawangsih, 2014).
3.      Perilaku menghindar. Salah satu gejala PTSD adalah menghindari hal- hal yang dapat mengingatkan pen- derita pada kejadian traumatis. Kadang-kadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam kehidupannya setiap hari dengan trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah dialami. Hal ini sering menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi takut un- tuk keluar rumah dan harus ditemani oleh orang lain jika harus ke luar rumah (Nawangsih, 2014).
4.      Depresi. Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami peng-alaman traumatik dan menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa trauma. Penderita mengembangkan perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah, menyalah- kan diri sendiri dan merasa bahwa peristiwa yang dialaminya merupakan kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar(Nawangsih, 2014).
5.      Memiliki pemikiran negatif. Kadang-kadang orang yang sedang mengalami depresi merasakan bahwa kehidupannya sudah tidak berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50% korban kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh diri(Nawangsih, 2014).
6.      Merasa diri disisihkan. Penderita PTSD memerlukan dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri dan terpisah. Perasaan yang demikian tersebut, umumnya penderita mengalami kesu- litan untuk berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan pertolongan. Penderita sulit untuk percaya bahwa orang lain dapat memahami apa yang ia telah alami(Nawangsih, 2014).
7.      Merasa dirinya tidak percaya dan perasaan dikhianati. Setelah meng- alami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin kehilangan kepercayaan pada terhadap orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh lingkungan disekitarnya, atau oleh nasib, atau oleh Tuhan(Nawangsih, 2014).
8.      Perasaan marah dan mudah tersinggung. Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara penderita trauma. Marah adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat dibenar- kan. Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk berinteraksi dengan orang lain(Nawangsih, 2014).
9.      Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa penderita PTSD mempunyai beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan di sekolah dalam jangka waktu yang lama setelah trauma. Seorang korban kejahatan mungkin menjadi sangat takut untuk ditinggal sendirian. Penderita mungkin kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi dan melakukan tugasnya di sekolah. Bantuan perawatan pada penderita sangat penting agar permasalahan tidak  berkembang lebih lanjut(Nawangsih, 2014).
10.  Persepsi dan kepercayaan yang aneh. Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang menyakitkan, seringkali untuk sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh, misalnya percaya bahwa dirinya bisa melihat atau ber- komunikasi dengan orang-orang yang sudah meninggal. Walaupun gejala ini menakutkan, menyerupai halusinasi dan hayalan, gejala ini bersifat sementara dan dapat hilang dengan sendirinya (Nawangsih, 2014).

Daftar Pustaka
Nawangsih, Endah .(2014).Play Therapy Untuk anak-anak Korban Bencana Alam Yang Mengalami Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD). Jurnal Ilmiah Psikologi. Vol. 1, No.2, Hal : 164 – 178.